cOPAS info berita,software dan bisnis internet

my blog copy paste

Minggu, 02 November 2014

Fatwa Ulama mengenai MLM

Sistem pemasaran berjenjang atau Multi Level Marketing (MLM) sedang menjadi sorotan sebagai salah satu pemutar roda ekonomi di Indonesia. Bicara tentang network marketing, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS).

Bisnis MLM merupakan salah satu bisnis modern yang tidak ada di zaman Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itulah terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai hukum bisnis MLM. Ada yang menghalalkan, ada yang mengharamkan MLM secara keseluruhan. Ada juga pendapat yang mengatakan halal atau haram, bergantung pada sistem yang diterapkan dalam MLM tersebut.

Pendapat ketiga ini sepertinya pendapat yang lebih tepat, karena dalam prakteknya dari sekitar 600 perusahaan MLM yang terdapat di Indonesia, masing-masing menerapkan sistem yang berbeda. Ada sistem binary, breakaway, unilevel, v iral marketing, skema ponzi, dan sebagainya. Dari seluruh MLM yang ada, 66 di antaranya sudah resmi terdaftar di Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI). Dari jumlah tersebut hanya 6 yang sudah mendapat Sertifikat Syariah dari MUI, satu di antaranya adalah K-LINK.

Perbedaan pendapat mengenai hukum MLM ini semakin tajam dengan adanya kerancuan istilah antara MLM dengan money game di kalangan masyarakat. Pemasaran berjenjang pada hakikatnya adalah sebuah sistem distribusi barang. Banyaknya bonus didapat dari omset penjualan yang didistribusikan melalui jaringannya.

Sedangkan money game menurut fatwa DSN MUI No. 75/DSN MUI/VII/2009 adalahkegiatan penghimpunan dana masyarakat atau penggandaan uang dengan praktik memberikan komisi dan bonus dari hasil perekrutan/pendafta ran mitra u saha yang baru/bergabung kemudian, dan bukan dari hasil penjualan produk, atau dari hasil penjualan produk namun produk yang dijual tersebut hanya kamuflase atau tidak mempunyai mutu/kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan .

Fatwa Ulama tentang MLM

Dr. Setiawan Budi Utomo dalam tulisannya di laman dakwatuna.com menyatakan :

The Islamic Food and Nutrition of America (IFANCA) telah mengeluarkan edaran tentang produk MLM halal dan dibenarkan oleh agama yang ditandatangani langsung oleh Presiden IFANCA M. Munir Chaudry, Ph.D. IFANCA mengingatkan untuk meneliti kehalalan suatu bisnis MLM sebelum bergabung atau menggunakannya dengan mengkaji aspek :

1. Marketing Plan . Adakah unsur skema piramida? Unsur piramida memungkinkan distributor yang lebih dulu bergabung selalu diuntungkan dengan mengurangi hak distributor di bawahnya sehingga merugikan downline dan hukumnya haram.

2. Track Record. Apakah perusahaan MLM tersebut memiliki track record positif atau tiba-tiba muncul, terutama jika mengundang banyak kontroversi.

3. Produk. Apakah produknya mengandung zat-zat haram? Apakah mendapatkan jaminan untuk ditukar apabila produk cacat produksi.

4. Investasi Berlebihan . Apabila perusahaan menekankan target penghimpunan dana dan menganggap bahwa produk tidak penting atau hanya sebagai kedok, terutama jika modal awal seperti uang pendaftarannya cukup besar. Ini patut dicurigai sebagai arisan berantai (money game) yang menyerupai judi.

5. Sistem Kerja. Telitilah skema kerja sebagai distributor terutama jika perusahaan MLM tersebut menjanjikan kaya mendadak tanpa bekerja.

Di Indonesia, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) sebagai lembaga resmi yang diakui pemerintah RI dan melibatkan ulama dari berbagai Ormas Islam telah mengeluarkan fatwa yang dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk menentukan halal haramnya sebuah perusahaan yang bergerak dalam bisnis MLM.

Dalam fatwa yang ditandatangani oleh Ketua DSN MUI DR. KH. Sahal Mahfudz dan Sekretaris KH. Drs. Ichwan Sam pada tanggal 25 Juli 2009, dijelaskan ada 12 persyaratan bagi MLM terkategori sesuai syariah, yaitu :

1. Ada obyek transaksi riil yang diperjualbelikan berupa barang atau produk jasa;

2. Barang atau produk jasa yang diperdagangkan bukan sesuatu yang diharamkan dan atau yang dipergunakan untuk sesuatu yang haram;

3. Transaksi dalam perdagangan tidak mengandung unsur gharar, maysir, riba’, dharar, dzulm, maksiat;

4. Tidak ada kenaikan harga/biaya yang berlebihan (excessive mark-up), sehingga merugikan konsumen karena tidak sepadan dengan kualitas;

5. Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota, besaran maupun bentuknya harus berdasarkan prestasi kerja yang terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan produk, dan harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS;

6. Bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota harus jelas jumlahnya, saat transaksi (akad) sesuai dengan target penjualan barang dan atau produk jasa yang ditetapkan perusahaan;

7. Tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara reguler tanpa melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan atau jasa;

8. Pemberian komisi atau bonus oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) tidak menimbulkan ighra’.

9. Tidak ada eksploitasi dan ketidakadilan dalam pembagian bonus antara anggota pertama dengan anggota berikutnya;

10. Sistem perekrutan, bentuk penghargaan dan acara seremonial yang dilakukan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan aqidah, syariah dan akhlak mulia, seperti syirik, kultus, maksiat dan sebagainya;

11. Setiap mitra usaha yang melakukan perekrutan keanggotaan wajib membina dan mengawasi anggota yang direkrutnya; 

12.Tidak melakukan kegiatan money game.

0 komentar:

Posting Komentar